“Seorang
korban Lumpur Lapindo mengembalikan kelebihan uang pengganti yang diberikan
sebesar 429 juta.”
Berita
yang saya terima pada Agustus 2007 tersebut mungkin akan membuat sebagian besar
orang yang mendengar atau membacanya merinding. Di tengah maraknya berita
mengenai kasus korupsi, kisah mengenai seseorang yang mengembalikan sesuatu
yang bukan haknya—terutama dalam jumlah yang sangat besar—menjadi sesuatu yang
langka.
Siapakah
orang yang kejujurannya telah menggetarkan hati itu? Ia, seperti kebanyakan
korban lumpur Lapindo lainnya, bukan seorang kaya raya dan memiliki harta
berlebih sehingga merasa tidak perlu uang. Anak dan menantunya pengangguran
karena pabrik tempat bekerjanya terendam lumpur. Ia juga bukan seseorang yang
berpendidikan tinggi. Ia hanya seorang petani biasa yang memegang teguh prinsip
kejujuran. Oleh karenanya, ia mengembalikan kelebihan uang pengganti sebesar
429 juta rupiah.
Berdasarkan
perjanjian, pada pembayaran pertama ia hanya akan menerima 56 juta rupiah,
yaitu 20% dari total 285 juta rupiah yang berhak ia terima. Namun, ia menerima
transfer sekitar 486 juta rupiah. Manusia ’langka’ tersebut bernama Waras (56
th), yang kemudian melapor dan mengembalikan sebagian besar kelebihannya itu.
Dalam
wawancara di sebuah televisi, ia menyatakan alasan yang mendasarinya
mengembalikan uang ratusan juta itu. ”Kulo wedi dosa Pak, niku sanes hak kulo!”
Yang artinya, ”Saya takut dosa Pak, itu bukan hak saya!”
Apa
yang dilakukan oleh tokoh yang oleh sebagian orang digelari ”Bapak Kejujuran”
ini merupakan bukti bahwa ia sudah memiliki nilai Ihsan. Meskipun tak ada
seorang pun yang mengetahui dan menyadari kelebihan uang tersebut, ia yakin
Tuhan akan tetap mengetahuinya. Karena itu, ia mengaku sempat tidak bisa tidur
dan tidak bisa makan selama tiga hari sebelum mengembalikan uang itu.
(Ary Ginanjar Agustian)